Bagi kalangan muslim di Nusantara bulan sya’ban juga cukup istimewa, berbgai tradisi sebagai bentuk kearifan lokal banyak di gelar. Beberapa tradisi ini diantaranya menggambarkan penghargaan dan kecintaan terhadap keluarga yang sudah meninggal, bentuk ungkapan syukur dan kegembiraan menyambut bulan Ramadhan. Berikut lirilir.id merangkumnya untuk anda :
1. Tradisi Ruwahan
Dalam bahasa jawa bulan sya’ban dikenal dengan bulan ruwah, berasal dari arwah. Bagi sebgaian warga Jawa Tengah dan Jawa Timur, bulan ini biasanya diadakan tradisi “Ruwahan” yaitu tradisi mengirimkan doa’a kepada keluarga yang sudah meninggal. Tradisi ini merupakan bentuk kecintaan dan penghargaan terhadap para leluhur. Tidak diketahui secara persis kapan dimulainya tradisi ini, tapi kemungkinan sudah berlangsung lama bahkan dari era sebelum Islam Masuk Nusantara. Ketika Islam masuk, tradisi ini kemudian dirubah sedemikian rupa oleh para Wali Songo dengan sentuhan nilai-nilai Islam. Penghormatan kepada leluhur diwujudkan dalam bentuk mengirim doa berupa tahlil, hataman Al-qur’an, kenduren, dan kegiatan lain yang pahalanya diniatkan untuk sanak saudara yang sudah meninggal.Tradisi ruwahan biasanya dimulai dengan berziarah ke makam leluhur, Kakek, Nenek dan kerabat lain yang telah meninggal. Secara bersama-sama mereka membersihkan makam, menabur bunga dan mendoakan arwah keluarga tercinta. Selain dilakukan bersama keluarga, sebagain masyarakat juga menggelar prosesi kenduren, yaitu mengundang tetangga sekitar untuk datang ke rumah dan mendoakan arwah keluarga yang meninggal secara bersama-sama, biasanya di pimpin oleh pemuka agama setempat. Kenduren diahiri dengan makan bersama dan mereka pulang dengan membawa “Berkat” berupa makanan dari pemilik rumah sebagai sedekah. Beberapa kelompok pengajian, Masjid atau Musholla biasanya juga menggelar Ruwahan masal, yaitu melakukan hataman Alquran dan Tahlil. Warga sekitar bisa ikut mengirimkan doa pada acara tersebut, biasanya arwah keluarga yang dikirimi doa dibacakan pada acara ruwahan masal tersebut.
2. Tradisi Nyadran
Tradisi nyadran sebenarnya hampir sama dengan ruwahan, istilah ini banyak digunaka masyarakat Djogyakarta dan sekitarnya. Tradisi nyadran bahkan sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284, ada pelaksanaan seperti tradisi nyadran yaitu tradisi craddha. Kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal, seperti sesaji dan ritual persembahan untuk penghormatan terhadap leluhur.
Jika pelaksanaan tradisi nyadran pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya, sedangkan Walisanga mengakulturasikan nyadran dengan doa-doa dari Al-Quran.
Masyarakat Jawa kuna meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Karena pengaruh agama Islam pula, makna nyadran mengalami pergeseran dari sekadar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau nifsu Sya’ban.
3. Tradisi Megengan
Megengan atau meugangan adalah tradisi menyambut bulan suci ramadhan yang berkembang di daerah Aceh, Melayu dan Jawa. Masing-masing daerah mempunyai tradisi megengan yang berbeda, namun intinya sama yaitu berkumpul bersama keluarga, makan bersama, hingga membaca zikir dan tahlil untuk arwah keluarga yang telah wafat.
Pada Masyarakat aceh muegang meruapakan serangkaian aktivitas membeli, mengolah dan menyantap daging sapi. Tradisi ini dilakukan 2 hari menjelang Bulan Ramadhan. Pada tradisi ini akan terlihat pemandangan yang unik yaitu bermunculan tempat-tempat penjualan daging yang berderet memanjang yang tentunya menjadi serbuan para pembelinya. Selain di masyarakat Aceh, ternyata tradisi Muegang juga berlangsung di masyarakat Melayu Kab. Sambas.
Di Madiun Jawa Timur biasanya masyarakat menggelar tradisi megengan dengan berdoa bersama di masjid atau musholla yang diahiri dengan tukar menukar berkat makanan yang dibawa tiap kepala keluarga. Makanan yang dibawa sesuai kemampuan masing-masing keluarga, namun biasanya identic dengan kue apem.
4. Tradisi Mandi Balimau
Tradisi ini adalah tradisi masyarakat Minangkabau yang dilaksanakan pada bulan sya’ban menyambut Ramadhan. Balimau merupakan tradisi mandi menggunakan jeruk nipis, biasanya dilakukan pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian. Tradisu ini diwariskan secara turun temurun, dan dipercaya telah berlangsung selama berabad-abad.
Mandi balimau dimaksudkan untuk membersihkan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan Ramadan, sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Secara lahir, menyucikan diri adalah mandi yang bersih. Zaman dahulu tidak setiap orang bisa mandi dengan bersih, baik karena tidak ada sabun, wilayah yang kekurangan air, atau bahkan karena sibuk bekerja maupun sebab yang lain. Saat itu pengganti sabun di beberapa wilayah di Minangkabau adalah limau (jeruk nipis), karena sifatnya yang melarutkan minyak atau keringat di badan. Upacara serupa dengan nama yang sama Balimau ini juga terdapat pula di provinsi Lampung (Wikipedia).
5. Tradisi Mungguhan
Munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban (satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan). Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama (botram), saling bermaafan, dan berdoa bersama. Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orang tua atau orang saleh, atau mengamalkan sedekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa).
Munggahan berasal dari Bahasa Sunda unggah yang berarti naik, yang bermakna naik ke bulan yang suci atau tinggi derajatnya.Tradisi munggahan dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, untuk membersihkan diri dari hal-hal yang buruk selama setahun ke sebelumnya dan agar terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan (Wikipedia)
Filosofi
Sebagaimana disampaikan Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum di lansir dari koranbernas.id, ziarah pada bulan Ruwah ini mengandung makna dan filosofi tentang keimanan pada Tuhan, agar dalam hidup ini mereka yang tengah hidup di dunia tetap mengingat asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yang secara biologis adalah dengan cara menghormati leluhur atau nenek moyang yang menurunkan (melahirkan) kita.Sejatinya, ziarah kubur dalam Islam juga mengingatkan kita pada kematian. Dengan berziarah, kita pun sadar bahwa ada masanya kita kembali kepada Maha Pencipta. Maka seseorang yang berziarah kubur seharusnya muncul dalam kehidupan sehari-hari kita bahwa kematian itu dekat. Dengan mengingat kematian, maka tindak-tanduk kita akan lebih terarah, kehidupan kita semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Kita tidak berani untuk melakukan hal-hal yang dimurkaiNya, bahkan hidup kita akan selalu merasa diawasi oleh Sang Pencipta. Hal ini juga dapat memberi semangat bagi kita yang masih hidup untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirat).
Inilah wujud dari filosofi Jawa sangkan paran dumadi yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “asal dan tujuan dari ada”. Bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini, berasal dan akan kembali pada Pencipta. Oleh karenanya, melalui filosofi Sangkan Paraning Dumadi manusia akan mengingat tiga hal, yakni asal alam semesta, tujuan manusia, dan penciptaan manusia.
Pada tradisi megengan, banyak masyarakat saling memberi dan menerima hantaran. Biasanya, isi hantaran tradisi Megengan di Jawa tidak meninggalkan tiga sajian makanan, yakni, ketan, kolak dan apem.
Makna dari ketiga makanan tersebut adalah sebagai berikut. Ketan merupakan lafal orang Jawa dalam menyebut Khotan. Dalam bahasa Arab, dalam kata tersebut bermakna kesalahan. Adanya ketan dalam upacara ini mengisyaratkan bahwa para keluarga yang datang untuk nyadran melakukan permohonan maaf atas kesalahan para leluhurnya. Dan ketan yang lengket merupakan simbol yang menguatkan tali silaturahmi.
Kolak berasal dari khologo dan dari kata tersebut terbentuk kata kholiq atau khaliq. Dengan demikian, kolak itu sendiri bermakna bahwa para pelaku nyadran didekatkan pada Sang Khaliq. Harapan yang sama juga dimohonkan untuk para leluhur mereka. Kolak yang manis dan bersantan, maksudnya mengajak persaudaraan bisa lebih dewasa dan barokah kemanisan.
Sedangkan apem berasal dari bahasa Arab Affum atau Alwan, yang berarti permintaan maaf baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga yang meninggal. Serta kebulatan tekad untuk memohon perlindungan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ritual bersih-bersih seperti mandi Balimau di Minang Kabau atau Padusan di Jawa merupakan tradisi masyarakat untuk menyucikan diri, membersihkan jiwa dan raga, dalam menyambut datangnya bulan suci. Tujuan tradisi ini adalah agar saat Ramadan datang, kita dapat menjalani ibadah dalam kondisi suci lahir maupun batin.
Selain itu, bila ditelisik lebih jauh, tradisi ini adalah media untuk merenung dan instropeksi diri dari berbagai kesalahan yang telah dibuat pada masa lalu. (Redaksi)
Posting Komentar